Sepeninggal Mbak Lina kembali ke Jakarta, karena masa
cutinya sudah habis, aku mulai masa avonturirku sebagai seorang lesbian. Bukan
berarti aku sudah tidak berhubungan lagi dengan Mbak Lina, aku masih
sering menelepon dia, bahkan liburan semester kemarin, aku main ke tempatnya di bilangan Menteng.
sering menelepon dia, bahkan liburan semester kemarin, aku main ke tempatnya di bilangan Menteng.
Sejak itu aku berusaha mengenal komunitasku di Jogja,
dan akhirnya aku menemukan apa yang aku cari, perkumpulan lesbian di Jogja. Aku
tidak menyangka akan menemukannya dalam kondisi Jogja yang serba adem ayem,
gemah ripah loh jinawi. Aku pun menemukannya secara tidak sengaja. Waktu itu
malam Minggu, aku jalan-jalan menikmati indahnya Jogja, kemudian aku mampir di
sebuah Kafe “J” yang lumayan jauh dari pusat keramaian. Yang membuatku tertarik
tempat itu kelihatan ramai karena pengunjungnya banyak. Lalu aku pun segera
memesan minuman ringan dan makanan, sambil menunggu pesanan mataku menyapu
seluruh ruangan, hampir semua pengunjung kafe ini adalah perempuan dan menurut
perkiraanku mereka rata-rata masih mahasiswa.
Tiba-tiba seorang gadis yang baru datang menyapaku, “Hi,
boleh duduk semeja nggak?” sapanya lembut, aku terperangah, aku mengagumi kecantikannya
sampai-sampai aku lupa menjawab sapaannya.
“Eh.. oh.. boleh.. boleh koq,”
jawabku.
“Mmm.. sendirian aja nih malem Minggu gini..”
“Eh.. iya, nggak ada yang bisa di ajak sih,” jawabku
sekenanya.
“Yee.. garing donk, eh iya lupa, kenalkan.. aku
Yanti,” katanya sembari mengulurkan tangannya, aku pun menyambut tangannya
dengan ragu-ragu.
“Bunga..”
“Wow, what a pretty name..”
“Thanks.. by the way kamu koq juga sendirian saja?
Nggak bawa gandengannya?”
“Yee.. kita khan masih single, masih nyari, abis nggak
ada yang cocok seeh,”
Aku mulai tertarik kepada Yanti, orangnya enak diajak
ngobrol dan juga dia cantik, postur tubuhnya hampir sama denganku, hanya saja
dadanya lebih kecil dariku. Aku sempat memperhatikannya, dadanya berguncang
guncang ketika kami berdua tertawa, mungkin dia tidak pakai BH, pikirku. Yanti
mengenakan paduan antara rok mini, t-shirt dan jaket tapi meski kelihatan
sederhana kesannya tetap modis.
Setengah terkejut aku baru menyadari kalau dari tadi
Yanti menggosok-gosokkan kakinya ke kakiku sambil melemparkan senyum nakalnya.
“Eh Bunga, boleh nggak aku nanya?” aku hanya
mengangguk saja.
“Mmm.. kamu udah punya pacar belom sih.. malem Minggu
kini masa sendirian aja.”
“Belum tuh.. emang kamu ada kenalan yang cocok buat
aku,” godaku.
Eeh, dianya malah ketawa-ketiwi, jadi sebel aku.
“Nah.. gimana kalo kamu saja yang jadi pacarku saja
Yan.. kayaknya kita klop deh,” godaku lagi.
“Yee.. siapa takut,” jawabnya sambil mencubit
tanganku.
Yanti kemudian berdiri, kemudian segera menggandeng
tanganku dan beranjak menuju toilet, lalu kami berdua masuk ke salah satu bilik
toilet.
“Yan.. mau ngapain sih?”
“Sstt..” katanya sambil menempelkan jari telunjuknya
ke bibirku.
Kemudian dia mendudukkanku di atas toilet, belum
sempat aku berkata apa-apa langsung saja dia duduk di atas pangkuanku dan mendaratkan
bibirnya yang lembut ke atas bibirku. Aku sempat terkejut, tapi aku kemudian
mulai menikmatinya, aku pun membalas melumat bibirnya dengan pnuh nafsu.
Tanganku bergerak turun meremas pantatnya, Yanti memelukku dengan erat, lidah
kami saling berpilin dan
beradu. Tanganku mulai merambat naik dan mulai menyusup ke balik kaos ketatnya, dan benar dia tidak memakai BH rupanya, sehingga aku pun dengan mudah bisa memilin dan mempermainkan puting susunya yang terasa tegang. Beberapa lama kemudian nafasnya mulai memburu dan dia berusaha meremas-remas payudaraku. Yanti pun mulai mengeluarkan desahan-desahan yang cukup keras, “Ahh.. shh.. augghh..” desahnya. Dengan sigap aku membungkam mulutnya, “Yanti.. lebih baik jangan di sini, aku takut nanti..” belum sempat aku merampungkan kata-kataku, Yanti mengecup bibirku dengan lembut kemudian berdiri dari pangkuanku. Setelah kami membetulkan pakaian, kami pun beranjak pergi.
beradu. Tanganku mulai merambat naik dan mulai menyusup ke balik kaos ketatnya, dan benar dia tidak memakai BH rupanya, sehingga aku pun dengan mudah bisa memilin dan mempermainkan puting susunya yang terasa tegang. Beberapa lama kemudian nafasnya mulai memburu dan dia berusaha meremas-remas payudaraku. Yanti pun mulai mengeluarkan desahan-desahan yang cukup keras, “Ahh.. shh.. augghh..” desahnya. Dengan sigap aku membungkam mulutnya, “Yanti.. lebih baik jangan di sini, aku takut nanti..” belum sempat aku merampungkan kata-kataku, Yanti mengecup bibirku dengan lembut kemudian berdiri dari pangkuanku. Setelah kami membetulkan pakaian, kami pun beranjak pergi.
Kami pun keluar dari toilet, lalu melewati sekelompok
cewek yang sedang bersendau gurau di ujung ruangan. Tiba-tiba ada yang ngomong,
“Yanti..! ee Yanti sombong banget sekarang, mentang-mentang udah punya
gandengan baru.. huu..” mereka menyoraki kami. Yanti pun berbalik sambil
menunjukkan jari tengahnya ke arah mereka, sambil tertawa, “F*** (edited) you
girls.. hi.. hi.. hi, emang nggak boleh apa!” jawabnya sambil berlalu bersamaku
keluar dari kafe. Aku baru sadar kalau tadi aku masuk ke kafe yang sering
dijadikan tempat kencan dan tempat ngumpul lesbian di Jogja.
Yanti pun terus menggandengku, menyusuri jalan di
pusat keramaian Jogja.
Sepanjang perjalanan Yanti tidak berhenti bicara,
terkadang dia melontarkan “joke-joke”-nya yang agak porno, aku pun cuma tersenyum
saja. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, kami kemudian naik becak yang
kebetulan ada di dekat situ. “Gang **** (edited), Pak!” kata Yanti sambil
menggandengku masuk menaiki becak. Selama perjalanan Yanti menyandarkan
kepalanya ke pundakku, aku pun melingkarkan tanganku ke pinggangnya, kupeluk
erat tubuhnya, aku merasakan tubuhnya memberiku kehangatan yang mampu mengurangi
rasa dinginnya malam. “Kiri Pak!” kata Yanti sambil bergegas turun, tampaknya
hujan agak sedikit reda.
Ternyata kami turun di depan sebuah rumah yang cukup
megah dan terkesan agak ramai, karena sesekali kudengar tawa seseorang di
dalam. Dan kupikir ini adalah semacam kos-kosan putri atau rumah kontrakan.
“Yan.. kamu kos di sini?” tanyaku.
Yanti cuma senyum-senyum, kami pun masuk ke dalam
rumah.
“Ayo masuk.. nggak usah malu-malu, anggap saja rumah
sendiri.”
Aku pun kemudian masuk ke dalam dan duduk di ruang
tamu, sementara Yanti masuk ke dalam, tak lama kemudian dia keluar lagi dengan
membawa segelas minuman untukku.
“Eh Bunga.. aku ganti baju dulu yah.. basah nih entar
masuk angin lagi.”
Aku cuma mengangguk. Dia pun segera berlalu dari
hadapanku. Dan hujan pun tampaknya kembali turun dengan derasnya. Wah sudah
malam nih, pikirku, mana hujan deras lagi. Tak lama kemudian Yanti pun keluar
dan.. ya ampun dia hanya mengenakan celana dalam saja, mungkin dia sudah gila,
pikirku, bagaimana kalau
ada orang lain yang melihat, kataku dalam hati. Mataku tertumbuk pada sepasang gundukan kembar yang padat berisi dan seakan memanggilku untuk mengulum dan menghisapnya.
ada orang lain yang melihat, kataku dalam hati. Mataku tertumbuk pada sepasang gundukan kembar yang padat berisi dan seakan memanggilku untuk mengulum dan menghisapnya.
“Bunga.. santai saja, ini rumahku kok! Anak-anak kos
itu tinggalnya di belakang, mereka nggak jadi satu denganku, masuknya juga
nggak lewat pintu utama, tapi lewat pintu sebelah rumah.. Mmm di rumah juga nggak
ada orang, soalnya aku yang mengelola rumah kos ini. Papa sama mama tetap
tinggal di Jakarta, dan juga pembantu rumah tangga cuma datang dari pagi sampe
sore aja, abis itu pulang!” katanya sambil melemparkan senyum nakalnya.
“Bunga.. hujan deras gini.. kamu nggak usah pulang
yah! Kamu nginep aja di sini, lagian udah malam, nggak baik cewek pulang malam-malam,”
katanya dengan genit.
Yanti kemudian duduk di sebelahku, dengan manjanya dia
melingkarkan tangan kanannya ke pinggangku, sedang kepalanya ia sandarkan ke
bahuku.
“Bunga.. aku udah ngantuk nih, bobok yuk!” katanya
manja, aku hanya diam saja.
Dia beranjak pergi sambil menggandeng tanganku menuju
kamarnya. Aku hanya menurut saja karena aku memang sebenarnya juga sudah
ngantuk. Aku pun mengikutinya masuk ke dalam kamarnya yang cukup luas dengan
ranjang yang rasanya terlalu lebar untuk dipakai seorang diri. Tanpa canggung
kulepas pakaianku sehingga aku pun hanya memakai celana dalam saja, dan aku melihat
noda basah di celana dalamku, rupanya tadi aku cukup terangsang sampai-sampai
celanaku basah.
Yanti terpaku menatap tubuhku, matanya tertuju pada
kedua payudaraku yang cukup padat dan kencang. “Yan.. lho.. kamu kok malah bengong,
katanya ngajakin bobok, udah gih sono bobok, aku juga udah ngantuk,” kataku.
Kurebahkan tubuhku di samping tubuhnya sambil membelakanginya, tiba-tiba kedua
tangannya mendekap tubuhku dari belakang. Yanti mulai menciumi punggung dan
tengkukku, membuatku geli. Sementara kedua tangannya tak henti-hentinya memilin
kedua puting susuku sampai tegang. Tanpa sadar aku pun mulai mengeluarkan
lenguhan-lenguhan panjang karena keenakan.
“Aaahh.. sstt.. oouughh..” lenguhku.
“Yantii.. uuh.. kamu jahat banget.. ouch.. awas
kamu..”
Aku pun membalikkan tubuhku. Belum sempat aku bicara,
bibir Yanti yang padat membungkam mulutku, dia memelukku dengan erat, dia terus
menciumiku dengan penuh nafsu, sampai-sampai aku sulit bernafas. Karena Yanti
tak juga mengendurkan pelukan serta ciumannya. Aku tak tahan lagi, langsung
saja kucubit dengan keras kedua puting susunya yang tampak sangat tegang dan
mengeras.
“Ouch.. ih jahat banget.. kok maen kasar sih,” protes
Yanti.
“Yee.. kamu duluan tuh yang kasar, aku kan belum
siap,” kilahku.
“Tapi kan.. punyaku jadi sakit.. jahat!” kata Yanti
dengan marah.
Dia membalikkan tubuhnya membelakangi tubuhku.
Tampaknya dia marah, aku pun mendekatinya, kupeluk tubuhnya dari belakang.
Yanti hanya diam saja, dia tidak memberikan perlawanan,
mungkin dia benar-benar marah, pikirku. Kucium tengkuknya dengan penuh kelembutan,
dan dia masih tidak bergeming sedikitpun. Tanganku mulai merambat naik ke
dadanya, kubelai kedua puting susunya dengan lembut. “Yanti.. masih sakit ya..
Emm.. maafin aku ya.. aku khan tadi cuma becanda.. please.. jangan marah gitu
donk.” Yanti tidak juga menjawab, yang kudengar hanyalah nafasnya yang mulai
memburu. Tanpa ba bi Bu langsung saja kubalikkan tubuhnya sehingga terlentang,
kemudian kutindih tubuhnya dengan tubuhku. Yanti memejamkan matanya ketika
hembusan hangat nafasku menyapu wajahnya, dia tampak pasrah padaku. Kedua dada
kami saling berimpit, aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak tidak
karuan, nafasnya mulai tersenggal-senggal, kulumat bibirnya yang indah dengan
bibirku tanpa memberinya kesempatan sedikitpun untuk membalas perbuatanku.
Yanti tidak tahan lagi, dia pun melingkarkan kedua tangannya ke leherku, lidah
kami saling bertemu dan berpilin. Sejenak mulai tercium olehku aroma khas
kewanitaan yang mulai menyebar di udara, dan tampaknya Yanti pun sudah begitu
terangsang, pinggulnya mulai bergoyang-goyang, dan juga ia berusaha menggesek-gesekkan
selangkangannya ke tubuhku. Aku pun merasakan hal yang sama dan aku sudah tidak
tahan lagi, maka
aku pun melepaskan diri dari pelukannya. Segera saja kulepas celana dalamnya, juga celana dalamku yang tampak basah. Begitu kulepas celana dalamnya, jelas tercium olehku aroma khas kewanitaan menusuk hidungku, ini semakin membangkitkan gairahku.
aku pun melepaskan diri dari pelukannya. Segera saja kulepas celana dalamnya, juga celana dalamku yang tampak basah. Begitu kulepas celana dalamnya, jelas tercium olehku aroma khas kewanitaan menusuk hidungku, ini semakin membangkitkan gairahku.
Yanti menjerit tertahan ketika aku menjilat serta mengulum
klitorisnya, kemaluannya terasa asin, manis serta gurih di lidahku. Kedua
tangan Yanti menahan kepalaku agar aku tetap menjilati kemaluannya. “Oouughh..
aakh.. Bunga.. geli banget.. sshh.. terus.. enak koq.. aahh..” Yanti meracau
tidak karuan.
Tiba-tiba dia berhenti meracau, pinggulnya terangkat,
dan aku sempat melihat mimik wajahnya yang seakan menahan kenikmatan yang tiada
tara, dan akhirnya pinggulnya mengejang serta aku merasakan kemaluannya semakin
basah dan basah. Setelah mengejang beberapa kali akhirnya ia pun terkulai lemas
di ranjang sambil
mulai mengatur nafasnya yang tidak menentu. Kuambil tisyu untuk membersihkan kemaluannya yang basah. Yanti masih tidak berani menatapku, dia balikkan tubuhnya membelakangiku. Tampaknya dia lelah, pikirku, atau mungkin dia masih marah padaku. Kududuk di samping tubuhnya yang tergolek lemas, kubelai rambutnya
yang indah tergerai. “Yanti.. mm.. kamu masih marah nggak sama aku?” Yanti tidak menjawab, dia hanya menggeleng pelan. Akhirnya aku pun bisa bernafas lega, akhirnya dia tidak marah lagi padaku. Kumatikan lampu, kemudian kubaringkan tubuhku di samping tubuhnya, aku pun merasa lelah. Tiba-tiba Yanti membalikkan tubuhnya dan memelukku dengan manja. “Bunga.. I love you,” katanya sambil mengecup bibirku. Yanti pun tertidur dalam pelukanku.
mulai mengatur nafasnya yang tidak menentu. Kuambil tisyu untuk membersihkan kemaluannya yang basah. Yanti masih tidak berani menatapku, dia balikkan tubuhnya membelakangiku. Tampaknya dia lelah, pikirku, atau mungkin dia masih marah padaku. Kududuk di samping tubuhnya yang tergolek lemas, kubelai rambutnya
yang indah tergerai. “Yanti.. mm.. kamu masih marah nggak sama aku?” Yanti tidak menjawab, dia hanya menggeleng pelan. Akhirnya aku pun bisa bernafas lega, akhirnya dia tidak marah lagi padaku. Kumatikan lampu, kemudian kubaringkan tubuhku di samping tubuhnya, aku pun merasa lelah. Tiba-tiba Yanti membalikkan tubuhnya dan memelukku dengan manja. “Bunga.. I love you,” katanya sambil mengecup bibirku. Yanti pun tertidur dalam pelukanku.
Semenjak itu kami menjadi sepasang kekasih, dalam
hatiku aku percaya bahwa dia adalah cinta sejatiku. Niat kami untuk hidup bersama
sebagai sepasang kekasih akhirnya tercium juga oleh kedua orangtuanya. Begitu
mengetahuinya, mereka langsung ke Jogja dan menemui kami berdua. Mereka
berpikir bahwa niat kami
tersebut terlalu mengada-ada, apa kata masyarakat sekitar nanti, kata mereka. Mereka menanyakan kesungguhanku untuk hidup bersama anak gadis mereka. Aku tahu mereka tidak ingin anak gadis mereka disia-siakan hidupnya olehku. Mereka tergolong orang yang moderat, sehingga ketika mereka tahu benar akan
kesungguhanku, mereka merestui hubungan kami berdua dengan berbagai syarat yang aku sendiri merasa kewalahan untuk memenuhinya. Tapi bagiku itu tidak mengapa, selama aku bisa bersama dengan Yanti, kekasih yang kucintai. Persetan dengan petualangan cintaku, pikirku. Yanti adalah seorang gadis yang manja, meski usianya tiga tahun lebih tua dariku. Ia baru saja lulus dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja, tapi ia masih menganggur, katanya ia masih ingin menikmati masa mudanya.
tersebut terlalu mengada-ada, apa kata masyarakat sekitar nanti, kata mereka. Mereka menanyakan kesungguhanku untuk hidup bersama anak gadis mereka. Aku tahu mereka tidak ingin anak gadis mereka disia-siakan hidupnya olehku. Mereka tergolong orang yang moderat, sehingga ketika mereka tahu benar akan
kesungguhanku, mereka merestui hubungan kami berdua dengan berbagai syarat yang aku sendiri merasa kewalahan untuk memenuhinya. Tapi bagiku itu tidak mengapa, selama aku bisa bersama dengan Yanti, kekasih yang kucintai. Persetan dengan petualangan cintaku, pikirku. Yanti adalah seorang gadis yang manja, meski usianya tiga tahun lebih tua dariku. Ia baru saja lulus dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja, tapi ia masih menganggur, katanya ia masih ingin menikmati masa mudanya.
Aku bukan cewek butch (tomboy), aku lebih cenderung
bersifat femme, tapi Yanti justru menyukai cewek yang menonjolkan sisi feminisnya.
Baginya, cewek “butch” sama kasarnya dengan cowok, terus kalau begitu apa
bedanya “butch” sama cowok, kata dia.
Kini kami adalah sepasang kekasih yang memadu cinta.
Selama aku hidup bersamanya
dia tidak pernah mengekang keinginanku, bahkan dia tidak melarangku untuk bercumbu dengan wanita lain, asalkan aku hanya memberikan cintaku untuknya. Betapa luhur hatinya, dan aku berjanji tidak akan mengecewakannya. Kisah ini kutulis atas persetujuan Yanti, sekedar untuk dijadikan bahan kajian,
bahwasanya kami, di antara sesama kaum wanita juga bisa tumbuh cinta yang sejati, bukan hanya cinta yang berdasar atas nafsu dan emosi.
dia tidak pernah mengekang keinginanku, bahkan dia tidak melarangku untuk bercumbu dengan wanita lain, asalkan aku hanya memberikan cintaku untuknya. Betapa luhur hatinya, dan aku berjanji tidak akan mengecewakannya. Kisah ini kutulis atas persetujuan Yanti, sekedar untuk dijadikan bahan kajian,
bahwasanya kami, di antara sesama kaum wanita juga bisa tumbuh cinta yang sejati, bukan hanya cinta yang berdasar atas nafsu dan emosi.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar